Manhaj

Dakwah Salafy-Wahabi Didukung dan Diakui oleh Para Ulama

Bagian ke-3

Sebagian pihak sangat tendensius ketika mengaitkan Dakwah Salafy-Wahabi dengan radikalisme dan terorisme. Dengan menyatakan bahwa dakwah Salafy- Wahabi mengajarkan terorisme, atau menyatakan bahwa Salafy-Wahabi merupakan pintu masuk bagi terorisme. Karena dakwahnya ekstrim, keras, dan memvonis syirik dan bid’ah.

Sebagai penjelasan terhadap tuduhan dan stigma negatif ini, telah berlalu tulisan bagian pertama dan ke-2 berjudul Mengenal Lebih Dekat Dakwah Salafy-Wahabi,

 Semoga memberikan pencerahan kepada umat tentang hakekat Dakwah Salafy-Wahabi, yang sebenarnya merupakan dakwah Tauhid dan Sunnah.

Pada bagian ke-3 ini akan mengupas fakta sejarah bahwa dakwah Tauhid dan Sunnah merupakan dakwah yang diterima dan diakui oleh para ulama.

Sebelum masuk dalam pembahasan, perlu kami ingatkan penggunaan istilah “Dakwah Salafy-Wahabi”, sebenarnya yang dimaksud adalah dakwah Salafiyyah, dakwah Tauhid dan Sunnah yang ditegakkan oleh Syaikhul Islam al-Mujaddid Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah. Kami gunakan istilah “Salafy-Wahabi” sekedar mengikuti penamaan/pengistilahan yang terlanjur terkenal. Dalam tulisan ini akan disebut pula dengan “Ulama Najd”, yaitu para ulama murid-murid Syaikhul Islam Muhammad bin Abdul Wahhab para penerus dakwah Tauhid dan Sunnah atau Dakwah Salafiyyah ini.

* * *

Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah seorang yang peduli dan memiliki rasa tanggung jawab yang sangat besar dalam mewujudkan pembaharuan dan pembenahan terhadap umat. Dakwah Tauhid yang beliau tegakkan merupakan wujud nyatanya.

Beliau berupaya keras agar dakwah yang beliau tegakkan ini bisa diterima dengan sebaik-baiknya oleh kaum muslimin dan para ulama Islam. Terlebih, beliau tidak membawa madzhab atau agama baru dalam dakwahnya. Tidak lain beliau mendakwahkan apa yang didakwahkan oleh para nabi dan para rasul.

Beliau dan para ulama pelanjut dakwah ini  menempuh berbagai upaya yang hikmah dan pendekatan yang baik. Di antaranya dengan membuka hubungan dengan para ulama melalui surat menyurat. Telah tercatat sekian banyak surat-surat yang  dikirim kepada para ulama di berbagai negeri. Di dalamnya terdapat penjelasan tentang tauhid yang merupakan dakwah para nabi dan rasul.

Demikian juga melalui forum pertemuan dan diskusi dengan para ulama, terutama dengan para ulama  Makkah. Hal ini mengingat Makkah merupakan tempat turunnya wahyu dan kota utama kaum muslimin di seluruh penjuru dunia.

Pertemuan Pertama

a. Pada tahun 1184 H, asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dan al-Amir Abdul Aziz bin Muhammad Su’ud (pimpinan Negara Saudi kala itu) mengirim delegasi utusan ke Makkah atas permintaan gubernur Makkah saat itu, Syarif Ahmad bin Sa’id.

Delegasi utusan tersebut dipimpin oleh asy-Syaikh Abdul ‘Aziz al-Hushain rahimahullah.

Dalam pertemuan tersebut, membahas tiga permasalahan pokok :

Pertama : tentang tuduhan bahwa asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab mengkafirkan kaum muslimin secara umum.

Kedua : penghancuran kubah-kubah yang ada di atas kuburan

Ketiga : berdoa kepada orang-orang shalih yang sudah mati dalam rangka meminta syafa’at.

Setelah melalui proses diskusi ilmiah, maka ketiga permasalahan tersebut dijelaskan sebagai berikut :

Pertama : tuduhan terhadap asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab bahwa beliau mengkafirkan kaum muslimin secara umum adalah tuduhan yang palsu dan dusta, tidak ada buktinya sama sekali.

Kedua : penghancuran kubah-kubah yang ada di atas kuburan adalah haq dan benar sebagaimana telah dijelaskan dalam banyak kitab-kitab para ulama. Para ulama tidak ragu sedikit pun akan kebenarannya.

Ketiga : para ulama telah menegaskan bahwa perbuatan tersebut, yaitu berdoa kepada orang-orang shalih yang sudah mati dalam rangka meminta syafa’at, adalah termasuk bentuk kesyirikan yang dilakukan oleh orang-orang musyrik terdahulu di masa Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Sallam berdakwah.

Dalam kesempatan forum diskusi tersebut, dihadirkan pula kitab-kitab madzhab Hanbali untuk dilakukan pengecekan dan peninjauan. Didapati bahwa semua poin penjelasan yang disampaikan di atas adalah benar adanya. Maka para ulama yang hadir dalam forum diskusi menerima dengan lega semua penjelasan di atas dan mengakui bahwa itu adalah bagian dari ajaran agama Allah.

(sumber : Tarikh Ibnu Ghannam 2/789-791)

 

Pertemuan Kedua

b. Tahun 1204 H, kembali dikirim utusan atas permintaan gubernur Makkah, Syarif Ghalib bin Musa’id. Delegasi utusan dipimpin lagi oleh asy-Syaikh Abdul ‘Aziz al-Hushain rahimahullah.

Dalam kesempatan diskusi ini, membahas permasalahan tuduhan terhadap asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab bahwa beliau mengajarkan untuk mencela orang-orang shalih dan dakwah beliau telah keluar dari jalur dakwahnya para ulama.

Setelah melalui diskusi ilmiah, nyatalah bahwa tuduh-tuduhan tersebut tidak terbukti sama sekali.

(sumber : Tarikh Ibnu Ghannam 2/886-887, ad-Durar as-Saniyyah 2/56-58)

 

Pertemuan Ketiga

c. Tahun 1211 H, Gubernur Makkah, Syarif Ghalib bin Musa’id, kembali meminta kepada al-Amir Abdul ‘Aziz bin Muhammad Su’ud untuk mengirim utusan ke Makkah. Maka beliau mengirim delegasi yang dipimpin oleh asy-Syaikh Hamd bin Nashir Alu Mu’ammar at-Tamimi rahimahullah.

Terjadi forum dialog dan diskusi yang dihadiri oleh sejumlah besar dari penduduk Hijaz. Hadir pula tokoh-tokoh besar ulama dari kalangan madzhab Hanafiyyah, Malikiyyah, dan Syafi’iyyah. Diskusi berlangsung hangat dan tajam.

Di antara permasalahan yang dibahas :

Pertama : Tentang hukum orang yang berdo’a beristighotsah kepada nabi atau wali agar dilepaskan dari problem dan kegentingan.

Kedua : Tentang hukum orang yang mengucapkan syahadatain namun dia tidak shalat dan tidak membayar zakat, apakah orang seperti ini dinyatakan sebagai mukmin?

Ketiga : Apakah boleh membangun di atas kuburan?

Ketiga permasalahan tersebut dijawab dengan lugas dan ilmiah oleh asy-Syaikh Hamd berdasarkan dalil-dalil dari al-Qur’an dan as-Sunnah serta pendapat-pendapat para imam madzhab. Jawaban beliau pun memuaskan para ulama yang hadir dalam forum tersebut. Dari diskusi tersebut terbukti bahwa tidak ada penyimpangan aqidah, tidak ada pula pendapat-pendapat baru dalam dakwah asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab. Semuanya sesuai dengan pedoman al-Qur’an, as-Sunnah, dan pendapat-pendapat para imam madzhab.

Aqidah dan dakwah asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab ternyata tidak berbeda dengan aqidah dan dakwah para ulama Makkah saat itu.

Peristiwa penting ini diabdikan oleh asy-Syaikh Hamd bin Nashir dalam dokumen sejarah, dalam sebuah karya tulis berjudul al-Fawakih al-‘Udzab fi ar-Radd ‘ala Man lam Yuhakkimu as-Sunnah wa al-Kitab.

 

Pertemuan Keempat

d. Tahun 1218 H, asy-Syaikh Abdullah putra asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah menulis sebuah risalah menjelaskan tentang hakekat dakwah tauhid yang ditegakkan oleh asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab. Risalah tersebut berjudul Risalah fi Hikayah al-Mubahatsah Ma’a Ulama Makkah fi Haqiqati Da’wati asy-Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab – rahimahullah – (Hikayat tentang Pembahasan Bersama Para Ulama Makkah tentang Hakekat Dakwah asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah )

Pimpinan al-Majma’ al-‘Alami al-‘Arabi  di Damaskus (Arab Academy of Damascus), Muhammad Kurd ‘Ali, mengatakan tentang risalah tersebut, “Risalah yang ditulis oleh Abdullah bin Muhammad bin Abdil Wahhab, yang beliau tulis ketika membuka dua tanah haram yang mulia, adalah saksi yang adil/jujur bahwa beliau berlepas diri dari berbagai tuduhan bohong yang ditujukan terhadap aqidahnya dan aqidah ayahanda beliau. Beliau menegaskan bahwa madzhab beliau tidak lain adalah madzhab para imam ahli hadits dan para salafush shalih.”

(sumber : al-Qadim wa al-Hadits hal. 166)

 

Pertemuan Kelima

e. Tahun 1343 H, asy-Syaikh Abdurrahman bin Muhammad bin Dawud dan asy-Syaikh Muhammad bin ‘Utsman asy-Syawi rahimahullah menulis surat kepada para ulama Makkah. Dalam surat tersebut, beliau berdua menjelaskan tentang misi dan visi Dakwah asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah. Penjelasan dalam surat tersebut disampaikan secara ilmiah dengan bahasa yang penuh sopan santun dan ramah.

Surat tersebut kemudian ditanggapi oleh para ulama Makkah dengan surat balasan yang berisi dukungan. Isinya sebagai berikut :

“… Kami mendapati bahwa yang disampaikan dalam surat tersebut adalah haq dan benar. Itiqad (keyakinan) kami : bahwa berdoa kepada orang mati dan meminta pemenuhan hajat dari mereka, dengan ucapan : “Ya fulan tolonglah kami, selamatkan kami, saya berada dalam jaminan Anda.” minta kepada orang yang telah mati agar mendatangkan manfaat atau menolak madharat, maka ini adalah kesyirikan dan kekufuran yang menyebabkan darah dan harta pelakunya menjadi halal.

Demikian pula semua yang disampaikan dalam surat tersebut, yaitu penjelasan tentang pemurnian peribadatan kepada Allah, diharamkannya mendirikan bangunan di atas kuburan dan meneranginya serta hal-hal yang terkait dengannya, semua itu adalah haq dan benar.”

Surat tanggapan dan dukungan ulama Makkah ini tertanggal 11 Rabi’uts Tsani 1343 H.  Para ulama Makkah yang menandatangani surat ini antara lain : Umar Bajunaid, Muhammad ‘Abid Al-Maliki, Jamal bin Muhammad al-Amir al-Maliki, Abbas bin Abdul Aziz al-Maliki, Darwisy bin Hasan al-‘Ujaimi al-Hanafi, … dan masih banyak lagi.

(sumber : Tarikh Najd al-Hadits, hal. 378)

 

Pertemuan Keenam

f. Tahun 1343 H, setelah kota Makkah kembali ke pangkuan negara Arab Saudi dengan damai, maka dilaksanakanlah serangkaian pertemuan antara para ulama Makkah dan para ulama Najd (para ulama murid-murid Syaikhul Islam Muhammad bin Abdul Wahhab para penerus dakwah Tauhid dan Sunnah atau Dakwah Salafiyyah ini). Dari pertemuan-pertemuan tersebut dihasilkan kesepakatan-kesepakatan yang itu sekaligus menunjukkan persatuan umat ini di atas aqidah tauhid dan metodologi Salafush Shalih. Kemudian para ulama Makkah mengeluarkan Seruan Umum kepada kaum muslimin secara umum.

Dalam Seruan Umum tersebut dijelaskan bahwa setelah dilaksanakan serangkaian pertemuan antara para ulama Makkah dengan ulama Najd, yang membahas tentang persoalan aqidah, maka dihasilkan kesepakatan-kesepakatan berikut :

1- Bahwa Allah esa dalam rububiyyah-Nya, uluhiyyah-Nya, dan Nama-nama dan shifat-shifat-Nya.

2- Bahwa beribadah kepada selain Allah adalah syirik akbar.

3- Syafaat hanyalah milik Allah satu-satu-Nya, dan tidak bisa terjadi pemberian syafaat kecuali bagi siapa yang Allah izinkan untuknya.

4- Ziarah kubur ada tiga macam : syari’iyyah, bid’iyyah, dan syirkiyyah.

5- Bersumpah dengan selain nama Allah adalah terlarang.

6- Bahwa iman itu adalah ucapan hati dan lisan, perbuatan hati, lisan dan anggota badan. Iman bertambah dengan amal ketaatan dan berkurang karena kemaksiatan. Kami tidak mengkafirkan seorang pun dari kalangan ahli qiblah dengan sebab semata-mata perbuatan maksiat.

7- Pelaksanaan haji, jihad, shalat Jum’at, dan hari raya adalah dilaksanakan bersama pemerintah yang baik maupun yang jahat.

8- Wajib mendengar dan taat kepada pemerintah dalam perkara yang bukan maksiat, baik pemerintah yang adil maupun pemerintah yang zhalim, selama pemerintah tersebut masih menegakkan shalat. Senantiatas menjaga keutuhan persatuan negara. Berlepas diri dari metodologi kelompok Khawarij dan Mu’tazilah yang berpendapat melakukan pemberontakan terhadap pemerintah dengan alasan pemerintah berbuat zhalim dan maksiat.

Dalam salah satu kesempatan pertemuan, asy-Syaikh Abdullah bin Bulaihid menyampaikan pidato yang sangat mendalam, menjelaskan tentang perkara-perkara i’tiqad yang diyakini oleh para ulama salaf. Di antara yang disampaikan dalam pidato tersebut : macam-macam tauhid, macam-macam syafa’at, macam-macam ziyarah kubur, macam-macam peribadatan yang tidak boleh ditujukan kecuali kepada Allah, hakekat kesyirikan, tentang maqam Nubuwwah, para wali, dan orang-orang shalih. Dalam pidato tersebut dijelaskan pula dengan sebab dominasi kebodohan, ilmu agama tersembunyi, dan jauhnya umat dari bimbingan nabi maka pada banyak orang banyak perkara-perkara agama yang sebenarnya sangat jelas menjadi rancu dan tersamarkan.

 

Pertemuan Ketujuh

Hingga pada hari Senin, 12 Jumadal Ula 1343, terjadi forum diskusi besar antara para ulama Makkah dengan para ulama Najd (yakni para ulama murid-murid asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, para pelanjut dakwah Tauhid).

Pertemuan besar ini di hadiri oleh :

Ulama-ulama Makkah : Habibullah asy-Syinqhiti, Umar Bajunaid, Darwisy bin Hasan al-‘Ujaimi, Muhammad Marzuqi, Jamal bin Muhammad al-Maliki, ‘Abbas bin Abdul Aziz al-Maliki, … dll

Ulama-ulama Najd : Abdurrahman bin Abdul Lathif, Abdullah bin Hasan, Abdul Wahhab bin Zahim, Abdurrahman bin Muhammad bin Dawud, Muhammad bin ‘Utsman asy-Syawi, Mubarak bin Abdul Muhsin bin Baz, … dll

Setelah melalui diskusi dan pembahasan ilmiah yang panjang, mendalam, dan penuh seksama, menghasilkan kesepakatan-kesepakatan sebagai berikut :

1- Bahwa barangsiapa yang mengikrarkan Syahadatain dan mengamalkan rukun Islam yang lima, namun dia melakukan hal-hal yang bisa membatalkan keislamannya, baik berupa ucapan, amalan, maupun keyakinan, maka dia bisa menjadi kafir dengan sebab pembatal tersebut. Dia diminta bertaubat selama tiga hari, kalau tidak mau bertaubat maka dia dihukum bunuh.

2- Barangsiapa yang menjadikan antara dirinya dengan Allah adanya perantara dari kalangan makhluk, yang dia berdoa kepadanya, berharap kepadanya dalam meraih manfaat atau menolak madharat, atau meyakini bahwa perantara tersebut bisa mendekatkannya kepada Allah sedekat-dekatnya maka dia kafir, halal darah dan hartanya. Barangsiapa meminta syafaat kepada selain Allah, dalam hal-hal yang tidak mampu memenuhinya kecuali Allah, maka itu adalah kesyirikan.

3- Haram membuat bangunan di atas kuburan dan menerangi kuburan. Demikian juga mengutamakan shalat di sisi kuburan adalah bid’ah yang haram dalam syari’at.

4- Barangsiapa yang berdoa meminta kepada Allah dengan kedudukan seseorang dari kalangan makhluk, maka dia adalah pelaku bid’ah dan telah melakukan perbuatan yang haram.

5- Dilarang bersumpah dengan nama selain Allah, baik itu Ka’bah, amanat, nabi, dll.

Pada penutup surat kesepakatan, ditegaskan :

“Semua permasalahan di atas telah dilakukan pembahasan dan tercapai kesepakatan antara kami (ulama Makkah) dengan pihak yang nama-namanya tersebut di atas (ulama Najd), dan tidak ada khilaf (perselisihan) sedikitpun. Maka dengan ini terjadi kesepakatan aqidah antara kami – para ulama tanah haram yang mulia – dengan saudara-saudara kami para ulama Najd.”

Berbagai hasil kesepakatan di atas, diabadikan dalam dokumen sejarah berjudul “Al-Bayan al-Mufid fi ma ittafaqa ‘alaihi Ulama Makkah wa Najd min ‘Aqaid at-Tauhid”, setelah sebelumnya dipublikasikan melalui koran “Ummul Qura” dalam beberapa kali edisi pada tahun 1343 H.

Demikianlah, pada tahun tersebut tercapai kesepakatan di atas al-Haq (kebenaran) antara ulama-ulama Najd dengan ulama-ulama Makkah. Melalui proses diskusi yang ramah, damai, ilmiah, dan santun. Sekaligus terbukti nyata di hadapan kaum muslimin, bahkan di hidapan dunia, bahwa dakwah yang ditegakkan oleh asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah tidak ada satu pun yang menyelisihi al-Qur’an dan as-Sunnah yang shahih, serta tidak ada yang bertentangan dengan prinsip-prinsip salafush shalih. Ini semua diakui secara kesepakatan bulat – tanpa ada kebimbangan sedikit pun – oleh para ulama Makkah dari berbagai madzhab pada masa itu.

 

♦ Buah dan Hasil Dakwah

Dengan izin Allah dakwah asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah menampakkan buah dan hasil yang sangat besar dan positif terhadap kaum muslimin dan dunia Islam, antara lain :

1- Berhasil mengembalikan kemurniaan dakwah Islam sebagaimana pada masa generasi Salafush Shalih dalam segala aspeknya, baik dalam hal kelurusan aqidah, kemurniaan tauhid, dan berhukum kepada al-Qur’an dan as-Sunnah.

2- Terwujudnya negara Islam yang aman sentausa dan adil sejahtera, tegak di atas prinsip Al-Qur’an dan as-Sunnah berdasarkan pemahaman Salafush Shalih, yang menegakkan tauhid dan sunnah dalam segala bidang.

Negara Islam ini diraih semata-mata dengan dakwah Tauhid yang dijalankan dengan penuh hikmah dan ilmiah, bukan dengan cara kekerasan, anarkhis, kudeta berdarah, teror, demonstrasi, maupun manuver-manuver politik.

3- Tercabutnya kesyirikan dan penyimpangan agama hingga ke akar-akarnya. Tidak ada tempat bagi pemikiran ekstrim dan radikal, sekuler dan liberal, demikian juga imperialisme, kapitalisme dan komunisme.

4- Tersebarnya ilmu dan hidupnya semangat ilmiah dalam mempelajari agama, dengan merujuk kepada metodologi salafush shalih, dengan memperhatikan ijtihad-ijtihad para imam madzhab yang empat : al-Imam Abu Hanifah, al-Imam Malik bin Anas, al-Imam asy-Syafi’i, dan al-Imam Ahmad bin Hanbal, serta para ulama mujtahidin lainnya.

5- Dimatikannya kebodohan, taqlid dan fanatik buta terhadap tokoh, madzhab, atau kelompok/golongan tertentu.

6- Lahirnya para ulama dan tokoh-tokoh besar yang berdakwah dan berjihad demi membela agama dan menegakkan tauhid, yang berkarakter teguh dalam memegang prinsip aqidah, tegar, berakhlaq mulia, jujur dan santun dalam berdakwah serta cinta terhadap negaranya. Mereka senantiasa peduli memperbaiki dan membangun bangsanya berdasarkan metodologi Salafush Shalih.

7- Membangkitkan semangat juang kepada kaum muslimin untuk mengentaskan diri dari cengkraman bangsa-bangsa penjajah, di bawah naung jihad Islami fi sabilillah.

Masih banyak lagi buah dan hasil positif dakwah tauhid yang penuh barakah ini. Tidak hanya dirasakan di jazirah Arabia saja, tapi juga dirasakan di luar jazirah Arabia di seantero dunia Islam. Sebagai contoh, semangat berjuang melawan penjajah/imperialisme barat bangkit di berbagai negeri kaum muslimin. Termasuk di Indonesia, dakwah Tauhid asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah memberikan andil yang sangat besar dalam membangkit semangat juang para pahlawan dan tokoh-tokoh pergerakan nasional. Ini merupakan fakta yang tak bisa dipungkiri. Hal ini telah diakui oleh tokoh-tokoh senior bangsa ini.

 

Selesai, Alhamdulillah

Ditulis oleh: Ahmad Alfian

Jember, 20 Sya’ban 1442 H / 3 April 2021 M

Terbaru

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Back to top button