Nasehat

Al-Haq Diterima Meskipun dari Majhul

بسم الله الرحمن الرحيم

إرشاد الفحول إلى أن الحق يقبل ولو كان من كافر أو مجهول

Kesejukan Air Mengalir

Bahwa Al-Haq Diterima Meskipun dari Orang Majhul dan Kafir

Oleh :

Asy-Syaikh Abul ‘Abbas Yasin bin ‘Ali Al-Hausyabi Al-‘Adani hafizhahullah

Alih Bahasa : Abu Mahfuzh Ali bin Imran bin Ali bin Adam Al-Andunisy

الحمد لله نحمده ونستعينه ونستغفره ، ونعوذ بالله تعالى من شرور أنفسنا وسيئات أعمالنا، من يهد الله فلا مضل له ومن يضلل فلا هادي له، وأشهد أن لا اله إلا الله وحده لا شريك له وأشهد أن محمداً عبده ورسوله صلى الله عليه وعلى آله وسلم.

أما بعد:

Kami telah mendengar bahwa ada sebagian orang menolak beberapa masalah ilmiyyah yang berlandaskan dalil dari Al-Qur`an dan As-Sunnah serta pendapat para ‘ulama panutan ummat hanya dengan alasan bahwa penulisnya tidak diketahui identitasnya, atau dengan istilah yang populer “penulisnya Majhul” (alias tidak dikenal). Sejak saat itu saya bertekad kuat untuk membahas masalah ini serta menjelaskan hakekat sebenarnya yang tersadur dari penjelasan para ‘ulama dalam permasalahan ini.

Maka saya memulai membahas masalah ini tentunya dengan pertolongan dan kemudahan yang Allah anugrahkan kepada saya hingga usailah tulisan pertama ini. Dalam pembahasan ini saya jelaskan bahwa kebenaran itu tetap diterima walaupun dari seseorang yang tidak diketahui identitasnya atau majhul. Bahkan kebenaran itu diterima walau dari seorang mubtadi’ (ahli bid’ah) atau bahkan dari seorang kafir, munafiq lagi musyrik. Kami memohon kepada Allah agar menjadikan amal ini ikhlash semata karena-Nya, dan agar dengan sebab tulisan ini Dia memberikan hidayah kepada orang-orang yang masih bingung untuk bisa menempuh jalan yang lurus.

Beberapa dalil yang menyebutkan bahwa kebenaran itu diterima walau dari seorang yang kafir atau majhul

 

1. Al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari shahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi  shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

أَصْدَقُ كَلِمَةٍ قَالَهَا الشَّاعِرُ كَلِمَةُ لَبِيدٍ أَلاَ كُلُّ شَىْءٍ مَا خَلاَ اللَّهَ بَاطِل

“Perkataan paling benar yang diucapkan oleh seorang penyair adalah ucapan Labid yang berbunyi : “Ketahuilah bahwa segala sesuatu selain Allah itu batil.”

Asy-Syaikh Ibn ‘Utsaimin berkata sebagaimana dalam kitab “Syarh Riyadhus Sholihin” : “Hadits ini menunjukkan bahwa kebenaran itu diterima sekalipun datangnya dari seorang penyair, kebenaran itu diterima dari siapapun yang menyampaikannya. Sekalipun dia adalah seorang yang kafir dan menyampaikan kebenaran maka kebenaran yang dia bawa itu diterima, atau dia seorang penyair, seorang yang fasiq namun menyampaikan kebenaran maka kebenaran yang dia sampaikan itu diterima.

Sedangkan orang yang mengucapkan kebatilan, maka ucapannya itu tertolak sekalipun yang mengucapkannya itu adalah seorang yang muslim, acuannya adalah ucapan, bukan dari siapa yang mengucapkan. Maka dengan ini tentunya wajib bagi setiap orang untuk memandang orang lain dari aspek perbuatannya, bukan dari sosok orangnya.”

Selesai dinukil dari kitab Syarh Riyadhus Sholihin.

2. Al-Bukhari meriwayatkan dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu berkata :

وَكَّلَنِى رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم بِحِفْظِ زَكَاةِ رَمَضَانَ،  فَأَتَانِى آتٍ فَجَعَلَ يَحْثُو مِنَ الطَّعَامِ،  فَأَخَذْتُهُ،  وَقُلْتُ وَاللَّهِ لأَرْفَعَنَّكَ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم.  قَالَ إِنِّى مُحْتَاجٌ، وَعَلَىَّ عِيَالٌ، وَلِى حَاجَةٌ شَدِيدَةٌ. قَالَ فَخَلَّيْتُ عَنْهُ فَأَصْبَحْتُ فَقَالَ النَّبِىُّ صلى الله عليه وسلم: يَا أَبَا هُرَيْرَةَ مَا فَعَلَ أَسِيرُكَ الْبَارِحَةَ؟  قَالَ,  قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ شَكَا حَاجَةً شَدِيدَةً وَعِيَالاً فَرَحِمْتُهُ، فَخَلَّيْتُ سَبِيلَهُ. قَالَ:  أَمَا إِنَّهُ قَدْ كَذَبَكَ وَسَيَعُود,  فَعَرَفْتُ أَنَّهُ سَيَعُودُ لِقَوْلِ رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم إِنَّهُ سَيَعُودُ.  فَرَصَدْتُهُ فَجَاءَ يَحْثُو مِنَ الطَّعَامِ فَأَخَذْتُهُ فَقُلْتُ لأَرْفَعَنَّكَ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم.  قَالَ دَعْنِى فَإِنِّى مُحْتَاجٌ،  وَعَلَىَّ عِيَالٌ لاَ أَعُودُ،  فَرَحِمْتُهُ،  فَخَلَّيْتُ سَبِيلَهُ فَأَصْبَحْتُ،  فَقَالَ لِى رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم:  يَا أَبَا هُرَيْرَةَ،  مَا فَعَلَ أَسِيرُكَ.  قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ شَكَا حَاجَةً شَدِيدَةً وَعِيَالاً،  فَرَحِمْتُهُ فَخَلَّيْتُ سَبِيلَهُ.  قَالَ:  أَمَا إِنَّهُ قَدْ كَذَبَكَ وَسَيَعُودُ.  فَرَصَدْتُهُ الثَّالِثَةَ فَجَاءَ يَحْثُو مِنَ الطَّعَامِ،  فَأَخَذْتُهُ فَقُلْتُ لأَرْفَعَنَّكَ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم،  وَهَذَا آخِرُ ثَلاَثِ مَرَّاتٍ أَنَّكَ تَزْعُمُ لاَ تَعُودُ ثُمَّ تَعُودُ.  قَالَ دَعْنِى أُعَلِّمْكَ كَلِمَاتٍ يَنْفَعُكَ اللَّهُ بِهَا.  قُلْتُ مَا هُوَ قَالَ إِذَا أَوَيْتَ إِلَى فِرَاشِكَ فَاقْرَأْ آيَةَ الْكُرْسِىِّ )اللَّهُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ هُوَ الْحَىُّ الْقَيُّومُ ) حَتَّى تَخْتِمَ الآيَةَ،  فَإِنَّكَ لَنْ يَزَالَ عَلَيْكَ مِنَ اللَّهِ حَافِظٌ وَلاَ يَقْرَبَنَّكَ شَيْطَانٌ حَتَّى تُصْبِحَ.  فَخَلَّيْتُ سَبِيلَهُ فَأَصْبَحْتُ،  فَقَالَ لِى رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم:  مَا فَعَلَ أَسِيرُكَ الْبَارِحَةَ؟  قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ زَعَمَ أَنَّهُ يُعَلِّمُنِى كَلِمَاتٍ،  يَنْفَعُنِى اللَّهُ بِهَا,  فَخَلَّيْتُ سَبِيلَهُ.  قَالَ:  مَا هِىَ؟  قُلْتُ قَالَ لِى إِذَا أَوَيْتَ إِلَى فِرَاشِكَ فَاقْرَأْ آيَةَ الْكُرْسِىِّ مِنْ أَوَّلِهَا حَتَّى تَخْتِمَ (اللَّهُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ هُوَ الْحَىُّ الْقَيُّومُ) وَقَالَ لِى لَنْ يَزَالَ عَلَيْكَ مِنَ اللَّهِ حَافِظٌ وَلاَ يَقْرَبَكَ شَيْطَانٌ حَتَّى تُصْبِحَ,  وَكَانُوا أَحْرَصَ شَىْءٍ عَلَى الْخَيْرِ.  فَقَالَ النَّبِىُّ صلى الله عليه وسلم:  أَمَا إِنَّهُ قَدْ صَدَقَكَ وَهُوَ كَذُوبٌ،  تَعْلَمُ مَنْ تُخَاطِبُ مُنْذُ ثَلاَثِ لَيَالٍ يَا أَبَا هُرَيْرَةَ.  قَالَ لاَ. قَال:  ذَاكَ شَيْطَانٌ.”

“Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam menunjuk diriku sebagai pengawas zِakat Ramadhan. Tiba-tiba datang seseorang dan mengais makanan, maka aku segera menangkapnya dan berkata kepadanya: “Sungguh demi Allah akan saya ajukan kamu menghadap Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam!!” Namun dia berkata : “Sungguh saya sangat membutuhkannya, saya memiliki tanggungan keluarga dan kebutuhan yang mendesak.” Maka aku biarkan dia berlalu. Pada pagi harinya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya : “Wahai Abu Hurairah apa yang diperbuat oleh tawananmu tadi malam?” Aku jawab : “Wahai Rasulullah, dia mengadu bahwa dia memiliki tanggungan keluarga dan kebutuhan yang mendesak, aku iba melihatnya maka aku biarkan dia berlalu.” Maka beliau berkata: “Sesungguhnya dia telah mendustaimu dan dia akan kembali lagi!” Maka saya tahu bahwa dia akan kembali lagi karena Rasulullah yang mengatakan bahwa dia akan kembali lagi.

Maka (malam harinya) aku pun mengintainya. Datanglah dia sembari mengais makanan, maka saya menangkapnya dan berkata kepadanya: “Sungguh akan saya bawa kamu menghadap Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam!!” Dia berkata, “Biarkanlah saya berlalu, karena saya sangat butuh dan memiliki tanggungan keluarga, saya tidak akan kembali lagi.” Saya merasa iba kepadanya. Pagi harinya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata : “Wahai Abu Hurairah apa yang diperbuat oleh tawananmu tadi malam?” Aku berkata: “Wahai Rasulullah, dia mengadu bahwa dia memiliki tanggungan keluarga dan kebutuhan yang mendesak, saya iba melihatnya maka aku biarkan dia berlalu.” Maka beliau berkata: “Sesungguhnya dia telah mendustaimu dan dia akan kembali lagi!!”

Maka (pada malam harinya) aku pun kembali mengintainya. Dia pun datang kembali dan kembali mengais makanan. Maka aku kembali menangkapnya dan berkata : “Sungguh akan saya bawa kamu menghadap Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam!! Ini adalah ketiga kalinya kamu berkata untuk tidak akan kembali lagi namun kamu masih juga kembali!!”. Dia berkata: “Biarkanlah aku berlalu dan aku akan mengajarkan kepadamu beberapa kalimat yang akan bermanfaat bagimu.” Saya berkata: “Apa itu?” Dia menjawab: “Jika kamu menuju tempat tidurmu (yakni hendak tidur) hendaklah kamu membaca Ayat Kursi : ((اللَّهُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ هُوَ الْحَي الْقَيُّوم hingga selesai, maka niscaya kamu akan senantiasa dalam penjagaan Allah dan tidak akan didekati oleh syaithon sampai pagi.”

Maka kembali saya biarkan dia berlalu. Pagi harinya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya lagi kepadaku : “Apa yang dilakukan oleh tawananmu tadi malam?” Aku menjawab: “Wahai Rasulullah dia menyatakan telah mengajarkan kepadaku beberapa kalimat yang Allah akan mendatangkan manfaat bagiku dengan kalimat-kalimat tersebut, maka karena itu saya membiarkan dia berlalu.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, “Apa kalimat-kalimat itu?” Aku menjawab: “Dia mengatakan: “jika kamu menuju tempat tidurmu (hendak tidur) maka bacalah Ayat Kursi dari awal hingga akhirnya, maka niscaya kamu akan senantiasa berada dalam penjagaan Allah dan syaithon tidak akan bisa mendekatimu sampai pagi.” – Para shahabat adalah orang-orang yang paling bersemangat dalam melaksanakan kebajikan- Rasulullah berkata:

أَمَا إِنَّهُ قَدْ صَدَقَكَ وَهُوَ كَذُوبٌ

Sungguh kali ini dia telah berkata jujur kepadamu dan dia adalah pendusta. Tahu kah kamu siapa yang kamu ajak bicara selama tiga malam kemarin wahai Abu Hurairah?” Aku menjawab: “Tidak” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Dia adalah syaithon!!”

3. An-Nasa`i meriwayatkan dari Qutailah, seorang shahabat wanita dari Juhainah :

أَنَّ يَهُودِيًّا أَتَى النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- فَقَالَ إِنَّكُمْ تُنَدِّدُونَ وَإِنَّكُمْ تُشْرِكُونَ تَقُولُونَ مَا شَاءَ اللَّهُ وَشِئْتَ وَتَقُولُونَ وَالْكَعْبَةِ. فَأَمَرَهُمُ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- إِذَا أَرَادُوا أَنْ يَحْلِفُوا أَنْ يَقُولُوا « وَرَبِّ الْكَعْبَةِ ». وَيَقُولُونَ « مَا شَاءَ اللَّهُ ثُمَّ شِئْتَ

Bahwa seorang Yahudi datang kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam seraya berkata : “Sesungguhnya kalian membuat tandingan bagi Allah dan kalian menyekutukan Allah, (yaitu) kalian berkata: “dengan kehendak Allah dan kehendakmu”, kalian juga berkata (dalam sumpah) : “demi Ka’bah” . “ Maka Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan mereka jika hendak bersumpah untuk mengatakan “demi Rabb Ka’bah”, dan juga agar mereka mengatakan “dengan kehendak Allah kemudian kehendakmu”

4. Dalam Shahih Al-Bukhari dan Muslim dari ‘Abdullah bin Mas’ud berkata :

جَاءَ حَبْرٌ إِلَى النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- فَقَالَ يَا مُحَمَّدُ أَوْ يَا أَبَا الْقَاسِمِ إِنَّ اللَّهَ تَعَالَى يُمْسِكُ السَّمَوَاتِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ عَلَى إِصْبَعٍ وَالأَرَضِينَ عَلَى إِصْبَعٍ وَالْجِبَالَ وَالشَّجَرَ عَلَى إِصْبَعٍ وَالْمَاءَ وَالثَّرَى عَلَى إِصْبَعٍ وَسَائِرَ الْخَلْقِ عَلَى إِصْبَعٍ ثُمَّ يَهُزُّهُنَّ فَيَقُولُ أَنَا الْمَلِكُ أَنَا الْمَلِكُ. فَضَحِكَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- تَعَجُّبًا مِمَّا قَالَ الْحَبْرُ تَصْدِيقًا لَهُ ثُمَّ قَرَأَ (وَمَا قَدَرُوا اللَّهَ حَقَّ قَدْرِهِ وَالأَرْضُ جَمِيعًا قَبْضَتُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَالسَّمَوَاتُ مَطْوِيَّاتٌ بِيَمِينِهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى عَمَّا يُشْرِكُونَ)

“Datang seorang pendeta kepada Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata: “Wahai Muhammad atau Wahai Abul Qasim, sesungguhnya Allah memegang langit pada hari kiamat pada salah satu jari tangan-Nya dan bumi pada jari-Nya yang lain, gunung-gunung dan pepohonan pada jari-Nya yang lain lagi, air dan lumpur pada jari-Nya yang lain dan seluruh makhluk-Nya pada jari-Nya yang lain pula, kemudian menggoncangkannya seraya berkata : “Akulah Raja, Aku lah Raja.”  Maka Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam tertawa karena kagum dengan ucapan pendeta itu dan sebagai pembenaran atas ucapannya. Kemudian beliau membaca ayat ini:

(وَمَا قَدَرُوا اللَّهَ حَقَّ قَدْرِهِ وَالأَرْضُ جَمِيعًا قَبْضَتُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَالسَّمَوَاتُ مَطْوِيَّاتٌ بِيَمِينِهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى عَمَّا يُشْرِكُونَ)

Artinya: “dan tidaklah mereka mengagungkan Allah dengan sebenar-benar pengagungannya, dan bumi semuanya berada dalam genggam-Nya,

Syaikhuna Al-Wadi’y dalam Al-Muqtaroh berkata: “Engkau mengambil kebenaran itu dari siapa pun yang membawanya. Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam menetapkan ucapan kebenaran yang dibawa oleh syaithon, yaitu ketika syaithon berkata kepada Abu Hurairah : “Jika kamu membaca Ayat Kursi ketika hendak tidur maka syaithon tidak akan mendekatimu.” Ketika itu Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Dia telah jujur kepadamu, namun dia adalah pendusta!”

Dan dalam sunan Nasai dengan sanad yang shohih dari Qutailah -seorang wanita dari Juhainah- : Bahwa seorang Yahudi datang kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam seraya berkata : “Sesungguhnya kalian membuat tandingan bagi Allah dan kalian menyekutukan Allah, (yaitu) kalian berkata: “dengan kehendak Allah dan kehendakmu”, kalian juga berkata (dalam sumpah) : “demi Ka’bah” . “ Maka Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan mereka jika hendak bersumpah untuk mengatakan “demi Rabb Ka’bah”, dan juga agar mereka mengatakan “dengan kehendak Allah kemudian kehendakmu.”

Maka seorang Muslim menerima kebenaran dari siapa pun yang menyampaikannya.”

Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin dalam Al-Liqo`ul Maftuh berkata : “Adapun apabila kebenaran yang diucapkan, maka dengan tanpa melihat keadaan orangnya kebenaran yang dibawanya tersebut wajib untuk diterima. Kenapa? Karena kebenaran itu wajib diterima dari siapa pun yang membawanya. Allah Subhanahu wa Ta’ala menerima ucapan musyrikin ketika mereka berkata dalam keadaan mereka melakukan kekejian :

وَجَدْنَا عَلَيْهَا آبَاءَنَا وَاللَّهُ أَمَرَنَا بِهَا

Kami mendapati orang-orang tua kami melakukan hal ini dan Allah lah yang memerintahkan kami untuk melakukannya” (Al-A’raf: 28)

Allah menerima ucapan mereka yang mengatakan :

“kami mendapati orang-orang tua kami melakukan hal ini.”

Karena hal itu memang benar. Maka Allah menjawab ucapan mereka itu :

قُلْ إِنَّ اللَّهَ لا يَأْمُرُ بِالْفَحْشَاءِ

“Katakanlah bahwa Allah tidak memerintahkan untuk melakukan perkara yang keji.” (Al-A’raf: 28)

Namun Allah membiarkan ketika mereka berkata: “kami mendapati orang-orang tua kami melakukan hal ini”.

Demikian pula Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam ketika diberi tahu oleh Abu Hurairah atas wasiat syaithon agar dia membaca Ayat Kursi setiap malam agar senantiasa berada dalam penjagaan Allah dan tidak didekati oleh syaithon hingga pagi, maka Nabi berkata, “dia telah jujur kepadamu walau sebenarnya dia adalah pendusta.”

Dan ketika seorang pendeta yahudi mengatakan kepada Beliau shalallahu ‘alaihi wa sallam bahwa mereka mendapati dalam Taurat bahwa Allah meletakkan langit pada satu jari-Nya dan bumi pada jari-Nya yang lain pula. Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam tertawa dan menetapkan serta beliau membenarkan apa yang diucapkan oleh si Yahudi itu.

Yang perlu utuk diperhatikan bahwa : kebenaran itu wajib diterima dari siapa pun orang yang menyampaikannya.  Akan tetapi jika kamu khawatir menyandarkan kebenaran itu kepada sumbernya karena dia seorang pelaku kebid’ahan dan manusia tertipu kemudian memiliki simpati kepada si pelaku kebid’ahan itu maka jangan kamu lakukan hal itu, karena mencegah timbulnya kerusakan lebih didahulukan dari pada mendatangkan kemaslahatan.” Selesai

5. Abu Daud dan yang lainnya meriwayatkan bahwa Yazid bin ‘Umairoh – salah seorang murid Mu’adz bin Jabal – mengatakan :

“كَانَ لاَ يَجْلِسُ مَجْلِسًا لِلذِّكْرِ حِينَ يَجْلِسُ إِلاَّ قَالَ:  “اللَّهُ حَكَمٌ قِسْطٌ هَلَكَ الْمُرْتَابُونَ”  فَقَالَ مُعَاذُ بْنُ جَبَلٍ يَوْمًا:  “إِنَّ مِنْ وَرَائِكُمْ فِتَنًا يَكْثُرُ فِيهَا الْمَالُ وَيُفْتَحُ فِيهَا الْقُرْآنُ حَتَّى يَأْخُذَهُ الْمُؤْمِنُ وَالْمُنَافِقُ وَالرَّجُلُ وَالْمَرْأَةُ وَالصَّغِيرُ وَالْكَبِيرُ وَالْعَبْدُ وَالْحُرُّ فَيُوشِكُ قَائِلٌ أَنْ يَقُولَ مَا لِلنَّاسِ لاَ يَتَّبِعُونِى وَقَدْ قَرَأْتُ الْقُرْآنَ مَا هُمْ بِمُتَّبِعِىَّ حَتَّى أَبْتَدِعَ لَهُمْ غَيْرَهُ فَإِيَّاكُمْ وَمَا ابْتُدِعَ فَإِنَّ مَا ابْتُدِعَ ضَلاَلَةٌ وَأُحَذِّرُكُمْ زَيْغَةَ الْحَكِيمِ فَإِنَّ الشَّيْطَانَ قَدْ يَقُولُ كَلِمَةَ الضَّلاَلَةِ عَلَى لِسَانِ الْحَكِيمِ وَقَدْ يَقُولُ الْمُنَافِقُ كَلِمَةَ الْحَقِّ. قَالَ,  قُلْتُ لِمُعَاذٍ:  “مَا يُدْرِينِى رَحِمَكَ اللَّهُ أَنَّ الْحَكِيمَ قَدْ يَقُولُ كَلِمَةَ الضَّلاَلَةِ وَأَنَّ الْمُنَافِقَ قَدْ يَقُولُ كَلِمَةَ الْحَقِّ؟”  قَالَ بَلَى اجْتَنِبْ مِنْ كَلاَمِ الْحَكِيمِ الْمُشْتَهِرَاتِ الَّتِى يُقَالُ لَهَا مَا هَذِهِ وَلاَ يُثْنِيَنَّكَ ذَلِكَ عَنْهُ فَإِنَّهُ لَعَلَّهُ أَنْ يُرَاجِعَ وَتَلَقَّ الْحَقَّ إِذَا سَمِعْتَهُ فَإِنَّ عَلَى الْحَقِّ نُورًا.”

“Tidaklah Mu’adz duduk dalam satu majlis dzikir melainkan dia pasti mengatakan : “Allah adalah Dzat yang Maha Adil, binasalah orang-orang yang ragu-ragu.” Pada suatu hari Mu’adz berkata : “Sesungguhnya di belakang kalian terdapat fitnah yang beraneka ragam. Ketika itu harta melimpah ruah dan Al-Qur`an pun dipelajari, sampai-sampai orang mukmin, munafiq, pria, wanita, anak-anak, orang tua, budak dan orang merdeka semua mempelajari Al-Qur`an. Dan dikhawairkan datang suatu masa dimana seseorang akan berkata: ‘Mengapa manusia tidak ada yang mau mengikuti aku padahal aku telah membaca Al-Qur`an? Mereka tidak akan mengikuti aku hingga aku membuat bid’ah (perkara baru dalam agama) untuk mereka.’ Maka hati-hatilah kalian dari bid’ah, karena setiap bid’ah adalah kesesatan, dan aku memperingatkan kalian dari ketergelinciran seorang yang berilmu, karena syaithon terkadang mengatakan ucapan yang sesat melalui lisan seorang yang berilmu, dan terkadang seorang munafiq juga bisa mengatakan ucapan yang haq.”

Yazid bin ‘Umairah bertanya kepada Mu’adz : “Bagaimana caraku –semoga Allah merahmatimu – untuk mengetahui bahwa sang ‘alim itu telah mengucapkan kalimat yang sesat dan bahwa si munafiq itu telah mengucapkan kalimat yang benar?”

Mu’adz menjawab : “Jauhilah ucapan seorang ‘alim yang masyhur ucapannya namun manusia bertanya-tanya: “ucapan apakah ini?” namun jangan lantas hal itu menyebabkan kamu jauh atau meninggalkannya, karena diharapkan dia akan kembali. Dan ambillah kebenaran itu jika kamu mendengarnya, sesungguhnya pada kebenaran itu terdapat cahaya.”

Berkata Syaikhul Islam dalam kitabnya “Fatawa Al-Hamawiyyah”

Akan tetapi kebenaran itu diterima dari siapa pun orang yang mengatakannya; dan Mu’adz bin Jabal dalam ucapannya yang terkenal darinya, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abu Daud, berkata : “Ambillah kebenaran itu dari siapa pun yang datang membawanya, walau dia seorang yang kafir, atau fajir, dan berhati-hatilah kalian dari ketergelinciran seorang yang berilmu.” Para muridya bertanya : “Bagaimana kami mengetahui bahwa seorang kafir terkadang mengucapkan kalimat yang haq?” Mu’adz menjawab: “Sesungguhnya pada kebenaran itu terdapat cahaya.” Atau perkataan yang senada.

Dalam Minhajus Sunnah, Syaikhul Islam rahimahullah juga berkata: “Allah telah memerintahan kita untuk senantiasa berlaku adil, maka tidak diperbolehkan bagi kita apabia ada seorang Yahudi atau Nashroni terlebih lagi seorang Rofidhi apabila mereka berkata dengan perkataan yang mengandung kebenaran untuk kita meninggalkan semuanya atau membantah semuanya, akan tetapi langkah yang utama adalah kita membantah ucapannya yang hanya mengandung kesesatan.”

Mar’i bin Yusuf Al-Karomi Al-Maqdisi dalam “Aqowil Ats Tsiqot berkata : “Kebenaran itu akan tampak dengan jelas serta memiliki cahaya, dan kebenaran itu diterima dari siapa pun orang yang mengucapkannya, dan Mu’adz bin Jabal berkata… (sama dengan perkataan dia di atas)

6. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :

“وَتَفَقَّد الطَّيْرَ فَقَالَ مَا لِيَ لَا أَرَى الْهُدْهُدَ أَمْ كَانَ مِنَ الْغَائِبِينَ (20) لَأُعَذِّبَنَّهُ عَذَابًا شَدِيدًا أَوْ لَأَذْبَحَنَّهُ أَوْ لَيَأْتِيَنِّي بِسُلْطَانٍ مُبِينٍ (21) فَمَكَثَ غَيْرَ بَعِيدٍ فَقَالَ أَحَطتُ بِمَا لَمْ تُحِطْ بِهِ وَجِئْتُكَ مِنْ سَبَإٍ بِنَبَإٍ يَقِينٍ”

dan dia (Nabi Sulaiman) memeriksa burung-burung lalu berkata: “Mengapa aku tidak melihat Hud-hud, apakah dia termasuk yang tidak hadir? Sungguh aku benar-benar akan mengadzabnya dengan adzab yang keras atau benar-benar menyembelihnya, kecuali jika benar-benar dia datang kepadaku dengan alasan yang terang”.  Maka tidak lama kemudian (datanglah Hud-hud), lalu ia berkata: “Aku telah mengetahui sesuatu yang kamu belum mengetahuinya; dan kubawa kepadamu dari negeri Saba suatu berita penting yang diyakini.” (An-Naml : 20-22)

Syaikhul Islam dalam “Minhajus Sunnah” berkata : “Jika ada seorang Rafidh berkata (dalam mencela ‘Umar) bahwa ‘Umar bin Khattab pernah mengatakan dalam salah satu khutbahnya: “Barang siapa yang berlebih-lebihan dalam membayar mahar wanita, maka aku akan memasukkannya ke Baitul Mal. Maka berkatalah seorang wanita: “bagaimana kamu melarang hak kami padahal Allah telah memberikannya hal itu untuk kami dalam Kitab-Nya ketika Allah berfirman: “dan telah kalian berikan kepada salah seorang dari mereka harta yang sangat banyak…” (surat An-Nisa’) maka ketika itu ‘Umar berkata: “Semua orang lebih faqih dari ‘Umar, bahkan sampai wanita-wanita yang berada dalam pingitan.”

Maka jawabannya adalah: “Justru kisah ini menunjukkan sempurnanya keutamaan ‘Umar, kesempurnaan agamanya, ketaqwaannya, dan kesiapannya untuk kembali kepada Al-Haq apabila tampak jelas baginya, dan bahwa ‘Umar menerima kebenaran sekalipun itu dari seorang wanita. ‘Umar juga selalu tunduk pada kebenaran. Dan bahwa dia juga mengakui keutamaan orang lain atas dirinya walaupun dalam permasalahan yang sangat sepele. Dan bukanlah syarat untuk menjadi yang terbaik adalah tidak boleh ditegur oleh oleh orang yang berada dibawahnya. Karena Nabiullah Sulaiman telah diberi tahu oleh Hud Hud “aku telah mengetahui apa yang belum kamu ketahui, dan aku datang kepadamu dari negeri Saba’ dengan membawa berita yang pasti.” (surat an Naml).”

 

Terbaru

4 Komentar

  1. Bismillahi,
    Mohon penjelasannya lebih lanjut lagi ustadz, kaidah-kaidah dalam hal ini sehingga tulisan ini tidak dijadikan oleh hizbiy atau Surury untuk menyerang Ahlus Sunnah karena Ahlus Sunnah ndak mau taklim dengan mereka meskipun mereka membawakan kitab tauhid dan kitab2 para ulama lengkap dengan syarah-syarahnya dari ulama salaf. Saya punya bbrp rekamannya dan apa2 yg disampaikan itu adalah sesuai dengan sunnah dan pemahaman salaf karena mereka juga mengajak kepada pemahaman salaf. Jazakalahu khoiron

    admin
    antum bisa mendapat penjelasannya pada tulisan kedua. yaitu di http://dammajhabibah.wordpress.com/2010/03/18/al-haq-diterima-meskipun-dari-majhul-2/

  2. Baca dulu yang satu ini:
    Hadirilah Muhadharah Bersama Asy-Syaikh Abdullah Al-Mar’i Al-Adni (Ulama Yaman), Tema: “Islam Tidak Mengajarkan Terorisme” Ahad 14 Maret 2010, Pukul 09.00-12.00. Masjid Al Mujahidin, Jl. Anggrek Nellymurni VII Blok A Slipi-Jakarta Barat (Seberang Rumah Sakit Harapan Kita). Peserta: Khusus Ikhwan. Insya Allah akan disiarkan di http://www.annashradio.com

  3. bismillah,dari al ustadz abu usamah Al ambony hafidhohulloh Asy-syaikh
    muhammad al imam hafidhohulloh & asy-syaikh abdul aziz al buroi
    hafidhohulloh keduanya berkata :”kami tidak mengingkari orang2 yang
    mengHIZBIkan “abdurohman al adny”

    admin
    Susah rasanya mempercayai berita antum. Bagaimana tidak, berita antum ini jelas-jelas bertentangan dengan berita yang pasti sahnya dari Asy-Syaikh Al-Imam dan Asy-Syaikh ‘Abdul ‘Aziz Al-Bura’iAsy-Syaikh Al-Bura’i telah menegaskan :
    ومن جانب آخر ليس هناك أحد مأمون عليه، نحن نسمع التهمة بالحزبية على الشيخ عبد الرحمن ومن معه، ولكن أين البينة؟ ولا نأمن على أنفسنا الفتنة، نسأل الله أن يخفظنا فيما بقي من العمر
    “Di sisi lain, tidak ada seorang pun yang bisa dipercaya (dalam masalah ini). Kami mendengar tuduhan hizbiyyah terhadap Asy-Syaikh ‘Abdurrahmân dan yang bersama beliau. Namun mana buktinya?? Kita tidak merasa diri kita aman dari fitnah. Kita memohon kepada Allah agar menjaga kita dalam sisa umur kita.”

    silakan lihat kembali : http://dammajhabibah.wordpress.com/2009/02/12/asy-syaikh-al-burai-para-masyaikh-tidak-pernah-rujuk-sedikitpun-dari-hasil-kesepakatan-al-hudaidah/

    Begitu pula berita yang sah dari Asy-Syaikh Al-Imam :
    ‘Abdurrahman Al-‘Adani telah dijadikan oleh Syaikhuna Al-Wadi’i (yakni Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i) termasuk dalam jajaran para masyaikh yang dijadikan rujukan ketika terjadi perselisihan atau perkara yang sangat berkaitan dengan dakwah. …. Beliau termasuk ‘ulama ahlus sunnah tanpa ada keraguan dan tanpa ada kebimbangan.
    … Maka penjelasan ini dalam situasi seperti ini sangat bagus dan harus diulang-ulang pada waktu dan kesempatan yang berbeda, dalam rangka mendapatkan faidah yang lebih banyak. Karena setelah terjadi perselisihan, sebagian pihak telah mengira bahwa Asy-Syaikh ‘Abdurrahman sudah tidak seperti dulu sebelum terjadinya perselisihan, yaitu semangat di atas kejernihan dan kemurniaan dalam dakwah, menjauhkan dakwah dari syubhat dan perkara-perkara hizbiyyah. Dan kami, bihamdillah, tidak mengetahui tentang beliau (Asy-Syaikh ‘Abdurrahman) kecuali kebaikan baik dulu maupun sekarang. Namun penjelasan ini dalam situasi seperti ini terhitung sebagai suatu yang bermanfaat dan membuat lari pihak-pihak yang ingin “memancing di air keruh” sebagaimana dikatakan (dalam pepatah), bahwa Asy-Syaikh ‘Abdurrahman sudah tidak lagi berjalan di atas apa yang beliau berjalan sebelumnya, dan bahwa beliau demikian, dan demikian. Bahkan sebagian mereka mengira bahwa Asy-Syaikh ‘Abdurrahman setelah timbulnya perselisihan terhempas di antara kelompok Ikhwanul Muslimin atau di antara Sururiyyin atau yang lain. Namun itu semua tidak terjadi, bahkan dengan memuji Allah (Asy-syaikh ‘Abdurrahman) tetap senantiasa komitmen di atas dakwah, maka ini di antara anugerah dari Allah.”

    lihat kembali : http://dammajhabibah.wordpress.com/2009/03/16/pujian-asy-syaikh-al-imam-terhadap-asy-syaikh-al-wushabi-dan-asy-syaikh-abdurrahman/#more-247

    lihat pula : http://dammajhabibah.wordpress.com/2009/02/12/sikap-para-masyaikh-asy-syaikh-abdurrahman-bukan-hizbi/

    Jelas-jelas berita antum ini bertentangan denga berita yang shahih. Tinggal antum, jika antum orang yang tsiqah maka berita antum berarti syadz. Kalau antum seorang yang dhaif berarti berita antum adalah munkar. Namun sebelum itu antum ini majhul, siapa? Kami tidak mengenal antum. Menurut kaidah yang didengung-dengungkan para “pembesar” antum, berita antum ini tidak bisa diterima, karena antum majhul.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Back to top button